Cerita Misteri Teror Ketukan Pintu Tengah Malam

Cerita Misteri Ketukan Pintu Di Tengah Malam

                                           Gambar Misteri Ketukan Pintu Tengah Malam

Cerita Misteri Ketukan Pintu Di Tengah Malam

Cerita misteri pendek Ketukan tengah malam yaitu cerita singkat yang bercerita mengenai teror mahluk menyeramkam di satu desa. Cuma satu kalimat untuk narasi misteri singkat ini, hati-hatilah bila anda mendengar ketukan pintu di dalam malam. Bagaimana cerita komplit cerita misteri pendek ini? silakan simak pada narasi singkat tersebut. 

“Ini telah yang ke enam kalinya. ” Seseorang lelaki paruh baya berkata sembari berdecak serta menggelengkan kepalanya ; di sebelahnya tampak sebagian pria serta wanita sesusianya, ada pula segerombolan anak kecil yang merengek ; memaksa menginginkan turut lihat. 

“Sebaiknya kita bakar saja tempat tinggal ini sebelumnya korban jadi tambah banyak. ” Pria berperut agak buncit yang berdiri di samping kanannya berkata. Baca juga cerita misteri pendek, cerita misteri singkat Raisa. 

“Jangan ngawur anda   ” kesempatan ini seseorang wanita tua dengan rambut uban maju sebagian langkah serta menghadap pria buncit yang bicara tadi, “Jangankan membakar tempat tinggal ini, mengakibatkan kerusakan pagarnya saja dapat membuat kamu celaka   Tidakkah telah kuperingatkan, jangan sampai sekali-sekali mengusik keberadaanya   Saat ini kalian simak sendiri kan apa yang terjadi bila kalian tak dengarkan peringatanku? ” 

Semuanya yang ada disana berbisik-bisik, sedikit menyaingi bunyi serangga yang mengalunkan musik alam di sore hari, lantas mendadak dari dalam tempat tinggal itu, sayup-sayup.. makin lama makin terang suara wanita tertawa mengikik. Hihihihihi… semuanyapun lari tunggang langgang meninggalkan sesosok badan yang terbujur kaku dengan mata melotot serta mulut menganga yang dari tadi jadi bahan pembicaraan mereka. 

Pagi itu Asrini terlihat tidak sama dari umumnya, gadis yang hoby bangun siang itu tampak telah rapi waktu beberapa orang masihlah asik bersantai di ranjang hangat mereka. Dia memanglah berniat bangun lebih pagi lantaran dia bakal pergi ke tempat yang lumayan jauh. Sesudah meyakinkan tidak ada yang ketinggal, diapun bergegas ke dapur serta memasak mi goreng telur kesukaannya. Dia juga meminum satu gelas kopi susu hangat yang aromanya demikian memikat. Baca juga cerita misteri pendek, cerita misteri Santet lada hitam. 

“Kamu meyakini ingin kesana? Tempatnya jauh lo, As. ” Siska, rekan satu kosnya duduk di sebelahnya. 

“Mau bagaimana lagi. Telah tidak ada alternatif lain, Sis. ” 

“Kenapa tidak ngajuin proposal lagi? Tidak mesti buat skripsi mengenai system bunyi desa itu kan? ” gadis memiliki rambut sebahu itu terlihat sedikit gelisah pikirkan sahabatnya yang bakal lakukan riset di satu desa terpencil yang penduduknya populer tak ramah. Dia bahkan juga pernah mendengar di desa itu kerap berlangsung peristiwa aneh. 

“Gila saja bila mesti buat lagi, tau sendiri kan nyaris semuanya desa telah ada yang make. Saya tidak mau disebut plagiator. Lagian saya penasaran ma desa itu, semisterius apa sih beberapa hingga belum ada mahasiswa yang mempelajari disana. ” Asrini memanglah seseorang gadis pemberani, dia yaitu seseorang mahasiswa pencinta alam yang telah punya kebiasaan pergi naik turun gunung serta kemah di rimba lebat, jadi tinggal sebagian minggu di desa terpencil bukanlah suatu hal yang mengerikan baginya.  

“Kamu telah meyakini ingin kesana? ” Siska masihlah terlihat berat untuk melepas kepergian rekannya. 

Asrini mengangguk mantap, “Tenang saja Sis, saya dapat jagalah diri kok. Saya jadi cemas ma anda yang bakal neliti di SMK Harapan, murid-murid SMK itu kan jail banget. Saya takut anda bakalan dikerjain habis-habisan disana. Hehe. ” Dia tertawa, berupaya menyingkirkan kecemasan Siska. Sedang Siska cuma tersenyum. 

“Wah, telah jam 1/2 tujuh. Saya pergi saat ini ya. ” 

“As? ” 

“Iya? ” 

Siska merangkul badan tegap Asrini dengan hangat, tanpa ada merasa bulir-bulir air mata meleleh di pipinya, “Hati-hati ya disana.

Asrini agak salah tingkah diperlakukan seperti itu, dia memanglah bukan type cewek yang sukai bercengeng-cengeng ria, “Iya, saya tentu jagalah diri kok, anda juga ya? ” diapun melepas pelukan Siska lantas selekasnya menaiki sepeda motornya yang telah dipanaskan. Sebelumnya pergi dia pernah melambai ke arah Siska yang membalas lambaiannya dengan sebagian tetes air mata yang menggenang di pojok matanya. Siska, Siska, seperti saya ingin pergi buat selama-lamanya saja, gumamnya sembari mempercepat laju sepeda mo

Desa kecil itu terdapat di kaki satu gunung api yang telah tak aktif lagi, jauh dari kota tempat Asrini serta Siska menimba ilmu. Perjalanan kesana mengonsumsi saat sekitaran delapan jam, ditambah dengan istirahat di jalan sepanjang dua jam, jadi Asrini baru hingga disana jam lima sore. Seperti yang dia pernah dengar dari Siska, masyarakat desa itu sekalipun tak ramah, mereka jadi melototinya seakan dia yaitu makhluk dari planet lain, namun bukanlah Asrini namanya bila dia gentar cuma lantaran hal semacam itu.. 

Dia masuk satu tempat tinggal masyarakat yang tampak semakin besar dari beberapa tempat tinggal yang ada disana, “Permisi.. ” ucapnya. Dia terasa begitu letih serta tidak sabar untuk selekasnya beristirahat. 

Seseorang anak kecil dengan kulit dekil keluar dari tempat tinggal itu. Dia memandang Asrini keheranan tanpa ada berkata apa pun. 

“Permisi Dik, bapaknya ada? ” Asrini coba berlaku ramah pada anak itu meskipun sesungguhnya dia begitu tidak suka anak kecil. 

Anak itu masihlah membisu lantas lari kembali kedalam tempat tinggal. 

Asrini menggeleng keheranan serta mengambil keputusan untuk mencari tempat tinggal lain, namun nada seseorang wanita hentikan langkahnya, “Nyari siapa? ” kata wanita itu, suaranya begitu tak bersahabat. 

Si gadis pencinta alam memaksakan satu senyum di muka letihnya, “Perkenalakan Bu, nama saya Asrini, saya mahasiswa semester akhir Kampus Sanggalangit. ” Dia menjulurkan tangannya, namun wanita itu cuma memandang tanganya dengan tatapan dingin. Asrinipun menarik kembali tangannya, “Saya ingin mengadakan riset disini, apa saya bisa bermalam dirumah ibu? Saya pastinya akan membayarnya. ” 

“Tidak. ” Ibu itu berkata ketus, “Sebaiknya anda tinggalkan desa ini. ” 

“Kenapa? ” tanyanya. 

“Pergilah.. Tak ada yang menginginkan kehadiranmu disini   ” Ibu itu menyeret anaknya masuk ke tempat tinggal sembari bicara dalam bhs daerah. 

Asrini mengerutkan alis serta meneruskan perjalanan mencari tempat tinggal lain. Untungnya ada seseorang ayah yang ingin berbaik hati menunjukkannya jalan ke tempat tinggal kepala desa. Asrini memberi sebagian lembar duit sebagai sinyal terimakasih, namun ayah itu menampiknya. 

Tempat tinggal kepala desa itu dapat disebutkan begitu luas untuk ukuran tempat tinggal pedesaan. Temboknya berwarna putih pucat serta pintunya terbuat dari kayu jati yang tampak begitu kokoh. Asrini mengetuk pintu itu sekian kali sembari mengatakan salam. 

Sebagian waktu lalu pintu terbuka serta Asrini lihat seseorang pria berperut buncit berdiri dihadapannya, “Ada butuh apa, ya? ” tanyanya. Dia lihat ke arah Asrini dari ujung kaki ke ujung kepala. Itu yaitu pertama kalinya tempat tinggalnya kehadiran seseorang gadis muda yang begitu cantik. 

Asrinipun mengenalkan diri serta menyebutkan maksud kehadirannya. Pria tua yang nyatanya kepala desa itu mempersilahkannya duduk di kursi kayu yang ada di teras depan. Dia lantas memanggil istrinya memakai bhs daerah serta menyuruhnya membikinkan minuman. 

“Jadi, apa saya bisa bermalam disini, Pak? ” 

Pak kepala desa kurang demikian memperhatikan apa yang tamu mudanya itu bicarakan lantaran dia repot nikmati muka cantik bak bidadari yang tidak pernah dia saksikan sampai kini. 

“Kalo ada orang ngomong itu ya didengerin. ” Istrinya, seseorang wanita paruh baya yang agak gendut, datang membawa dua gelas kopi serta duduk di samping suaminya. 

Pak kepala desa terasa agak malu serta memohon Asrini untuk mengulangi pertanyaannya. 

“Apa saya bisa bermalam disini, Pak? Tak lama, paling cuma dua minggu serta saya pastinya akan memberi bayaran yang sesuai sama. ” Baca juga narasi misteri pendek, narasi cinta Walau itu membunuhku. 

Muka ibu kepala desa beralih merah, terlebih sesudah dia lihat suaminya tersenyum suka, “Tidak dapat. ” Ucapnya tegas, “Tidak ada yang bisa bermalam disini. ” 

“Jangan gitu dong Bu, kasian adik Asrini. Dia tentu capek sepanjang hari bawa motor kesini, terlebih ini telah nyaris jam 6. ” 

“Pokoknya ndak bisa   Titik   ” 

“Apa ibu ndak kasian sama dia? ”

Sepasang suami istri itu lantas berembug dalam bhs daerah yang kurang dipahami oleh Asrini. Sesudah sebagian waktu pak kepala desa melihat dengan kecewa ke arahnya serta berkata, “Maaf ya dik, kelihatannya adik ndak dapat bermalam disini. ” 

Asrini demikian kecewa mendengar itu, “Tolong lah Pak, saya lelah banget. ” dia tunjukkan muka memelasnya, “Saya dapat tidur dimana saja, di halaman belakang juga bisa, kebetulan saya bawa tenda. 

Pak kepala desa melihat dengan penuh berharap ke arah istrinya, “Gimana Bu? ” 

“Bener anda dapat tidur dimana saja? ” 

Asrini mengangguk cepat. 

“Sekitar satu km. ke samping utara ada satu tempat tinggal kosong yang telah lama ditinggalkan penghuninya. Anda dapat tidur disana bila anda ingin. ” 

“Ibu   ” muka pak kepala desa memucat, “Kamu sadar ndak sama apa yang anda bicarakan? ” 

“Memangnya mengapa Pak? ” Asrini ajukan pertanyaan penasaran. 

“Rumah itu telah lama kosong dan…” dia terlihat sangsi untuk meneruskan kalimatnya. 

“Nggak apa-apa Pak, yang utama saya bisa tempat bermalam. Dapat ibu perlihatkan jalannya? ” 

Ibu kepala desa memberi ptunjuk jalan pada Asrini. Gadis itupun mengendarai sepeda motornya ke arah tempat tinggal yang diperlihatkan tadi, jalanannya menanjak, sempit, serta sulit dilewati sepeda motor, namun dia tampak semangat. Senyum tersungging di berwajah lantaran pada akhirnya dia memperoleh tempat untuk beristirahat, dia tidak paham apa yang bakal menyambutnya disana. 

Asrini terlihat gelisah, berkali-kali dia berupaya tutup matanya, namun belum hingga dua detik tertutup, ke-2 mata itu kembali terbuka. Dia beberapa kali sudah berupaya mencari posisi tidur yang nyaman, namun tetap harus dia tak dapat tidur. Fikirannya terganggu kalimat seseorang nenek yang ditemuinya tadi petang, ”Tinggalkan tempat tinggal ini   Anda bakal menyesal bila anda masihlah disini   ” 

Apa maksud nenek itu? Ada apa sesungguhnya dengan tempat tinggal ini? Mengapa mendadak dia terasa begitu takut? Demikian beberapa pertanyaan menari di kepalanya, bikin dia terbangun hingga larut malam. Asrini mengambil handphone-nya ; masihlah belum ada tanda. Dia terasa butuh menceritakan dengan seorang untuk mengusir ketakutan terlalu berlebih di hatinya, namun hanya satu alat komunikasi yang dibawanya tak dapat berperan. Saat ini dia terasa sedikit menyesal tak dengarkan saran Siska. Semestinya dia tak pergi ke desa terpencil ini ; semestinya dia pilih tempat lain atau tema lain untuk skripsinya.  

“Ayolah Asri, anda ini anak mapala ; anak mapala itu tidak ada yang penakut   ” dia menyemangati dianya, “Sebaiknya saya dengarkan lagu saja agar tidak kesepian. ” Diapun menghidupkan laptopnya serta dengarkan sebagian lagu kesukaannya sembari memperhatikan tempat tinggal tempatnya bermalam. Tempat tinggal itu tak demikian besar, namun juga tak demikian kecil. Ada lima rungan disana ; satu runag tamu, dua buah kamar tidur, dapur, serta kamar mandi. Kondisinya lumayan berantakan waktu Asrini menginjakkan kakinya disini untuk pertama kalinya ; diapun membereskan tempat tinggal itu. Sedikit yang dapat dibereskan memanglah lantaran tempat tinggal itu dapat disebutkan kosong ; tak ada perlengkapan apa pun. Lumrah saja, tempat tinggal itu telah bertahun-tahun ditinggalkan penghuninya. 

Rupanya lagu-lagu yang diambil Asrini dapat menghidupkan rasa kantuknya, dia menguap sekian kali serta dalam waktu relatif cepat saja terlena dengan lagu yang masihlah mengalun syahdu dari laptopnya. Ntah telah berapakah lama dia tertidur waktu mendadak terdengar ketukan di pintu depan, awalannya ketukan itu begitu pelan, namun makin lama makin keras. Asrini terkesiap bangun dari tidurnya ; laptopnya dalam kondisi sleep lantaran baterainya telah nyaris habis. 

“Siapa yang datang malam-malam gini? ” tuturnya sebentar sesudah lihat arlojinya, telah jam 12 pas. Dengan malas Asrinipun keluar kamar serta buka pintu. Dia sedikit terperanjat lihat seseorang wanita muda dengan kondisi basah kuyup berdiri di depannya. Asrini sekalipun tidak paham bila diluar tengah hujan lebat. 

“Nyari siapa ya? ” bertanya Asrini sembari memperhatikan tamu tengah malamnya itu dari ujung kaki hingga ujung kepala, dia tampak begitu kedinginan ; sekujur badannya gemetaran. 

“Boleh saya bermalam disini? ” suara wanita itu terdengar begitu pelan, “Saya kedinginan. ” Imbuhnya.

Asrini memerhatikan wanita itu sekali lagi, astaga, dia hamil   

“Ya, silahkan.” Asrini menyuruh wanita itu masuk dan memberikan handuk untuk mengeringkan tubuhnya. Dia pikir lebih baik berdua dengan orang asing daripada sendirian, lagipula dia kasihan kepada wanita muda itu.

“Nama saya Lestari.” Katanya memperkenalkan diri, “Saya ingin ke kamar mandi.”

“Oh, silahkan.” Asrini baru saja mau menawarkan untuk mengantar saat Lestari berjalan menuju kamar mandi. Bagimana dia bisa tahu arah kamar mandi ? Batin Asrini.

Asrini duduk di atas tempat tidurnya,  dia merasa sangat mengantuk, tapi dia berusaha untuk tidur karena dia ingin menunggu Lestari dan menujukkan kamar tidur untuknya. Hampir setengah jam berlalu, tapi Lestari belum datang juga.

“Kenapa lama sekali di kamar man..” belum selesai Asrini mengucapkan kalimat itu dia mendengar suara berisik dari arah kamar mandi, sedetik kemudian dia mendengar tangisan, lebih tepatnya jeritan. Asrini terlonjak bangun dan segera berlari menuju kamar mandi.

Pintu kamar mandi yang berwarna cokelat itu tertutup rapat, di dalamnya terdengar suara seorang wanita yang menangis; pelan dan memilukan, membuat siapa saja yang mendengarnya merinding. Asrini tampak ragu, dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Terasa ada kekuatan yang mendorongnya untuk mengetuk pintu, “Lestari, kamu kenapa ?” suara yang keluar dari mulutnya bergetar, dia bingung dan takut.

Hening, tidak ada jawaban. Lalu tiba-tiba saja terdengar suara tertawa, tawa yang sangat mengerikan. Asrini mundur beberapa langkah, jantungnya berdetak sangat cepat dan keringat membasahi pelipisnya, “Lestari, kamu kenapa ?” dia berteriak.

Suara tawanya berubah menjadi memilukan, lalu terdengar teriakan, “Dasar lelaki jahanam    Lelaki sialan   ”

Asrini berjalan cepat ke arah pintu dan menggedornya dengan keras, “Buka pintunya Lestari, kamu ngapain di dalam ?”

“Lihat apa yang sudah kau lakukan padaku    Kau buang aku setelah aku memberikan semua yang aku punya   ”

Gedoran di pintu semakin keras, “Buka pintunya   ”

Lestari tertawa, “Sekarang aku sudah bebas    Aku lepas    Aku tidak perlu lagi menanggung aib ini   ”

Kekatukan dan kebingungan Asrini perlahan berubah menjadi kekuatan, dia mundur beberapa lamhkah lalu mendobrak pintu kamar mandi dengan keras, tapi begitu pintu terbuka dia tercengang; tidak ada siapapun di sana   Kamar mandi itu kosong   Asrini mengucek-ngucek matanya, tapi tetap saja kamar mandi itu kosong. Seketika tubuhnya lemas. Apa tadi dia hanya berhalusinasi ? Apa memang benar-benar tidak pernah ada yang datang ? Tapi rasanya seperti nyata; benar-benar nyata. Jeritan itu, tawa itu, tangisan itu, teriakan itu, semuanya terlalu nyata untuk hanya menjadi ilusi belaka.

Bulu kuduk Asrini berdiri, dia berjalan tertatih menuju kamarnya, mungkin dia memang hanya berhalusinasi karena dia merasa takut sendirian. Iya, dia pasti hanya menghayal kalau ada orang yang menemaninya. Dia berjalan terus menuju kamarnya, tapi ntah kenapa dia tidak sampai-sampai. Dia seakan berputar-putar di ruang tamu. Pintu kamar tidurnya hanya berjarak dua meter di depannya, tapi dia tidak juga berhasil sampai di sana. Ada apa ini ? Jantung Asrini berdetak lebih cepat. Kini dia yakin memang ada sesuatu yang janggal di rumah ini. “Aku harus pergi dari sini.” Katanya pada dirinya sendiri. Dia mempercepat langkahnya, bukan ke kamarnya lagi, tapi ke pintu depan. Anehnya dia bisa dengan mudah sampai di pintu itu.

Tepat sebelum Asrini membuka gagang pintu, pintu itu diketuk orang dari luar. Asrini terkesiap. Keringat mulai bercucuran dengan deras di sekujur tubuhnya. Tubuhnya tak bisa bergerak, seakan lumpuh total. Otaknya juga berhenti bekerja.

Ketukan itu terdengar makin keras, tapi tak ada suara yang mengiringinya. Asrini masih terpaku, namun sedikit demi sedikit dia sudah bisa mengambil kendali atas tubuhnya, bisa saja itu pak kades yang menghawatirkan keadaannya. Secercah harapan muncul di benak Asrini. Diapun menggerakkan tangannya yang bergetar ke arah gagang pintu dan membukanya perlahan.

Begitu pintu terbuka, Asrini melotot tajam. Di depannya berdiri seorang gadis yang setengah jam yang lalu juga berdiri di tempat yang sama, namun kini gadis itu terlihat jauh berbeda. Pakaiannya berlumur darah, begitu juga kulitnya. Matanya menatap kosong ke arah Asrini, wajahnya penuh luka dan begitu menyeramkan. Tangannya, oh apa yang ada di tangannya itu ? Dia menggenggam segumpal daging merah, darah menetes dari gumpalan daging itu.

Asrini diam tak bergerak, hanya matanya yang semakin lama semakin terbuka dengan lebar. 

Gadis itu menyeringai lalu mendekatkan tangannya ke arah bibirnya, dia mengigit daging yang penuh dengan darah segar itu dan menelannya. Asrini membuka mulutnya dan berteriak dengan keras, “Aaaa…………..” dan tubuhnyapun ambruk ke lantai, mata dan mulutnya terbuka dengan sangat lebar, jantungnya yang sebelumnya berdetak dengan sangat cepat kini tak berdetak sama sekali. Sementara makhluk yang ada di depannya tertawa menyeramkan, melihat korbannya yang tergeletak dengan mata dan mulut yang menganga.